Kisah Seru: Aku Kehilangan Arah, Tapi Senyummu Jadi Kompas Hidupku
Aku Kehilangan Arah, Tapi Senyummu Jadi Kompas Hidupku
Kabut menyelimuti kota ini, sama pekatnya dengan rahasia yang membelit kami. Aku, Lin Wei, dan dia, Zhang Lei. Kami tumbuh bersama di gang sempit ini, berbagi mimpi di bawah langit malam yang sama. Zhang Lei, dengan senyumnya yang SELALU menghangatkan, menjadi jangkar di tengah badai hidupku.
"Lin Wei," bisiknya suatu malam, di bawah rembulan yang pucat. "Kau adalah satu-satunya yang kumiliki. Janji padaku, kita akan selalu bersama."
"Janji," jawabku, menggenggam tangannya erat. Tapi janji hanyalah kata, bukan?
Zhang Lei kemudian menjelma menjadi bintang yang bersinar terang di dunia bisnis. Aku, dengan setia, menjadi bayang-bayangnya, tangan kanannya yang tak pernah bertanya. Kami membangun kerajaan bersama, menaklukkan pasar, dan mengumpulkan kekayaan yang tak terbayangkan. Tapi di balik kemilau kesuksesan itu, ada bayangan yang merayap.
"Kau tahu, Lin Wei," ujarnya suatu hari, senyumnya tipis dan tajam. "Kekuatan itu seperti candu. Sekali kau merasakannya, kau tidak akan pernah bisa melepaskannya."
Dialog kami, seperti tarian pedang. Setiap kata adalah tusukan, setiap senyum adalah topeng yang menyembunyikan niat tersembunyi. Aku mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ambisinya tumbuh menjadi obsesi, dan senyumnya kehilangan kehangatan.
Rahasia mulai terkuak. Bisik-bisik tentang transaksi ilegal, tentang pengkhianatan di belakang layar, tentang darah yang tertumpah demi kekuasaan. Aku menyelidiki, dengan jantung berdebar kencang. Semakin dalam aku mencari, semakin jelas gambarannya.
Zhang Lei.
Dia adalah dalang di balik semua ini. Dia mengkhianati teman-temannya, musuh-musuhnya, bahkan keluarganya sendiri. Dia menggunakan aku, Lin Wei, sahabatnya, saudaranya, sebagai tameng untuk melindungi dirinya sendiri.
KENAPA?
"Lin Wei, maafkan aku," bisiknya di gudang tua yang menjadi saksi bisu persahabatan kami. Di tangannya, pistol berkilauan di bawah cahaya remang-remang. "Aku tidak punya pilihan."
"Pilihan?" Aku tertawa pahit. "Kau selalu punya pilihan, Zhang Lei. Kau hanya memilih jalan yang salah."
Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi kota dan menutupi suara tembakan. Zhang Lei jatuh ke tanah, matanya menatap kosong ke langit. Darah mengalir membasahi lantai, mewarnai persahabatan kami dengan warna merah yang mengerikan.
Aku berdiri di atasnya, pistol masih di tanganku. Balas dendam telah ditunaikan. Kebenaran telah terungkap. Tapi kemenangan ini terasa hampa.
Dia berbisik, nyaris tak terdengar, "Aku… selalu… mencintaimu…"
Dan kemudian, dia pergi. Meninggalkanku sendirian di tengah kabut yang pekat, dengan kompas yang telah kehilangan arah.
Mungkin… mungkin aku yang lebih dulu kehilangan diriku.
You Might Also Like: Ini Baru Drama Cinta Yang Menyamar