Cerita Seru: Langkah Terakhir Di Jalan Berlumur Darah
Langkah Terakhir di Jalan Berlumur Darah
Bulan purnama malam itu memandangi kota Chang'an dengan dingin. Di paviliun terpencil, Lady Xue, dengan gaun sutra putihnya yang berkibar lembut, tampak bagai lukisan rembulan. Senyumnya, dulu, adalah mentari bagiku, kini hanyalah topeng indah yang menutupi jurang kehancuran.
"Li Wei," suaranya bagai melodi seruling yang dulu begitu kurindukan. "Kau tampak pucat."
Aku membalas senyumnya, senyum yang kini terasa beracun. "Hanya sedikit lelah, Xue'er. Perjalanan panjang dari perbatasan memang melelahkan."
Di hadapanku, di atas meja kayu cendana, tergeletak dua cangkir teh. Aroma melati memenuhi udara, aroma yang dulu melambangkan kebahagiaan, kini menjelma jadi bau kematian. Satu cangkir telah diminumnya.
Lima tahun. Lima tahun aku mengabdikan diri untuknya, untuk kekaisaran, untuk cintanya yang kupercaya abadi. Lima tahun aku bertempur di medan perang, melindunginya dari segala bahaya. Lima tahun aku mengumpulkan kekuasaan untuknya, agar dia bisa duduk di singgasana yang menjadi haknya. Lima tahun, dan semua itu… hanya untuk mengetahui bahwa dia mencintai saudara tiriku, Pangeran Yu.
Pengkhianatan. Kata itu bergema di benakku, bagai lonceng kematian yang berdentang tanpa henti.
Pelukan Xue'er dulu terasa hangat dan menenangkan. Kini, aku merasakan belati dingin menembus tulang rusukku setiap kali dia mendekat. Janjinya untuk menungguku kembali, janji untuk hidup bersamaku selamanya… semua itu hanyalah kata-kata kosong yang terhempas oleh badai ambisi.
"Kau tahu, Li Wei," Xue'er melanjutkan, matanya berbinar licik. "Pangeran Yu lebih pantas untuk memimpin negeri ini. Kau terlalu lembut, terlalu setia."
Aku hanya menatapnya. Tidak ada amarah, tidak ada air mata. Hanya kekosongan. Aku sudah lama menangis, dalam heningnya malam, di bawah guyuran hujan di medan perang. Air mataku sudah habis.
Aku mengangkat cangkir teh yang tersisa. Aroma melati itu kini terasa pahit di hidungku. "Racun?" tanyaku lirih.
Xue'er tersenyum manis, senyum seorang ratu yang telah mendapatkan semua yang dia inginkan. "Maafkan aku, Li Wei. Demi kekaisaran, demi cinta."
Aku meneguk teh itu hingga tandas. Rasanya bagai es yang membakar kerongkonganku.
"Jangan khawatir," kataku tenang. "Kau akan mendapatkan tahtamu. Pangeran Yu akan menjadi Kaisar. Kekaisaran akan makmur."
Keesokan harinya, Pangeran Yu diangkat menjadi Putra Mahkota. Beberapa hari kemudian, dia menikahi Xue'er. Aku, Li Wei, Jenderal Agung yang gagah berani, meninggal karena penyakit misterius.
Tapi kematianku bukanlah akhir cerita.
Beberapa bulan kemudian, Pangeran Yu mulai mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk tentang pertempuran, tentang darah, tentang mata dingin seorang jenderal yang menatapnya dengan penuh kecewa. Mimpi buruk yang membuatnya menggigil ketakutan di tengah malam. Mimpi buruk yang perlahan-lahan merenggut kewarasannya.
Xue'er, sang Permaisuri yang cantik jelita, menyaksikan suaminya hancur perlahan. Dia menyaksikan penyesalan merayapi wajahnya, meracuni jiwanya, dan mengubahnya menjadi bayangan dari dirinya sendiri.
Aku tidak membunuh mereka dengan pedang. Aku tidak menumpahkan darah. Aku menghantui mereka dengan penyesalan abadi. Penyesalan karena telah mengkhianati cinta sejati.
Di akhir hayatnya, Pangeran Yu berteriak histeris, "Li Wei! Aku mohon, ampunilah aku!"
Xue'er, dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, hanya bisa memeluk suaminya yang meracau. Dia tahu, hukuman yang lebih berat dari kematian adalah hidup dengan penyesalan yang tak berkesudahan.
Di kejauhan, di bawah rembulan yang sama, rohku tersenyum pahit. Bukan darah yang mengalir di jalan yang kulalui, melainkan sungai penyesalan yang tak pernah kering.
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama... dan terkadang, dendam adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan cinta yang hilang.
You Might Also Like: Manfaat Sunscreen Mineral Dengan Bahan