Drama Populer: Aku Mati Berkali-kali Untuk Cinta Ini, Tapi Cinta Ini Tak Pernah Mati
Hujan abu menggantung di langit malam, persis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Di bawah pohon sakura yang kehilangan kelopaknya, di tengah hiruk pikuk festival lentera. Matanya, sekelam obsidian, menangkap cahaya lentera yang menari-nari, memantulkan janji KEABADIAN yang tak pernah terpenuhi.
Namanya, Lin Wei, terukir di hatiku seperti mantra kuno. Aku, Xiao Feng, hanyalah seorang prajurit rendahan, terpesona oleh keanggunan seorang putri dari klan yang berkuasa. Cinta kami, terlarang, tersembunyi di balik bayang-bayang pagoda dan desas-desus angin malam.
Aku mati berkali-kali untuknya. Mati dalam mimpi buruk, mati dalam latihan pedang yang tak kenal ampun, mati setiap kali melihat senyumnya ditujukan pada orang lain. Tetapi setiap kali aku bangun, cintaku padanya justru semakin MENGGILA.
Malam itu, di kuil terpencil di puncak gunung, adalah akhir dari segalanya.
"Xiao Feng," bisiknya, suaranya bergetar menahan tangis. "Ayah menjodohkanku dengan pangeran dari klan utara. Aku…aku tidak bisa menghindarinya."
Kata-katanya seperti belati dingin yang menghujam jantungku. Aku tahu ini akan datang, tapi tetap saja… SAKITNYA MEMBARA.
Aku meraih tangannya, jemariku menggenggam erat jemari halusnya. "Lin Wei…kau berjanji…kau berjanji akan bersamaku selamanya…"
Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi jubah sutranya. "Aku…aku tahu. Tapi…tapi aku tidak punya pilihan. Aku akan membawa aib bagi keluargaku jika aku menolak."
Penghianatan itu terasa begitu nyata, begitu MENYENGAT. Bukan karena dia tidak memilihku, tapi karena dia mengingkari janjinya. Janji yang kami ukir di bawah bintang-bintang, janji yang menjadi satu-satunya alasan aku bertahan hidup.
"Pilihan?" Aku tertawa hambar, suara parau. "Kau selalu punya pilihan, Lin Wei. Kau hanya memilih untuk tidak memilihku."
Aku melepaskan tangannya. Dingin malam menyelimuti kami, lebih dingin dari kematian itu sendiri. Aku berbalik, berjalan menjauh tanpa menoleh.
Aku mendengar isaknya, ratapannya, tetapi aku tidak berhenti.
Bertahun-tahun berlalu. Lin Wei menjadi ratu yang dihormati, istri dari pangeran perkasa. Aku, Xiao Feng, menjadi jenderal yang ditakuti, membangun reputasi di medan perang dengan kekejaman yang tak kenal ampun. Aku mengumpulkan kekuatan, pengaruh, dan sekutu.
Klan utara, yang menikahi Lin Wei, kini menghadapi perang saudara. Kekacauan merajalela. Dan aku, dengan senyum dingin di bibir, berdiri di ambang gerbang istana mereka.
Bukan aku yang menghancurkan mereka. Bukan aku yang menumpahkan darah. Bukan aku yang membunuh raja dan merenggut mahkota dari kepala Lin Wei.
Itu adalah takdir. Ya, TAKDIR yang membawaku ke sini. Takdir yang membalas dendam atas nama hati yang hancur. Takdir yang memberikan keadilan, walau terlambat.
Kulihat Lin Wei di tengah kerumunan pengungsi, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Dia menatapku, mengenaliku. Rasa bersalah dan penyesalan terpancar jelas di sana.
Aku mengangkat pedangku, bukan untuk membunuhnya, tapi untuk menyingkirkan rintangan di jalanku. Aku berjalan melewatinya, seolah dia hanyalah debu di jalanan.
Dia menangis. Aku tersenyum.
Cintaku padanya sudah mati. Tapi dendam…dendam baru saja dimulai.
Apakah ini cinta yang telah mati, atau dendam yang akan hidup selamanya?
You Might Also Like: Alasan Face Wash Lokal Untuk Kulit